Keseimbangan Hidup
Dikisahkan, suatu hari ada
seorang anak muda yang tengah menanjak karirnya tapi merasa hidupnya
tidak bahagia. Istrinya sering mengomel karena merasa keluarga tidak
lagi mendapat waktu dan perhatian yang cukup dari si suami. Orang tua
dan keluarga besar, bahkan menganggapnya sombong dan tidak lagi peduli
kepada keluarga besar. Tuntutan pekerjaan membuatnya kehilangan waktu
untuk keluarga, teman-teman lama, bahkan saat merenung bagi dirinya
sendiri.
Hingga suatu hari, karena
ada masalah, si pemuda harus mendatangi salah seorang petinggi
perusahaan di rumahnya. Setibanya di sana, dia sempat terpukau saat
melewati taman yang tertata rapi dan begitu indah.
"Hai anak muda. Tunggulah di dalam. Masih ada beberapa hal yang harus
Bapak selesaikan," seru tuan rumah. Bukannya masuk, si pemuda
menghampiri dan bertanya, "Maaf, Pak. Bagaimana Bapak bisa merawat taman
yang begitu indah sambil tetap bekerja dan bisa membuat
keputusan-keputusan hebat di perusahaan kita?"
Tanpa
mengalihkan perhatian dari pekerjaan yang sedang dikerjakan, si bapak
menjawab ramah, "Anak muda, mau lihat keindahan yang lain? Kamu boleh
kelilingi rumah ini. Tetapi, sambil berkeliling, bawalah mangkok susu
ini. Jangan tumpah ya. Setelah itu kembalilah kemari".
Dengan sedikit heran, namun senang hati, diikutinya perintah itu. Tak
lama kemudian, dia kembali dengan lega karena mangkok susu tidak tumpah
sedikit pun. Si bapak bertanya, "Anak muda. Kamu sudah lihat koleksi
batu-batuanku? Atau bertemu dengan burung kesayanganku?"
Sambil tersipu malu, si pemuda menjawab, "Maaf Pak, saya belum melihat
apa pun karena konsentrasi saya pada mangkok susu ini. Baiklah, saya
akan pergi melihatnya."
Saat kembali lagi dari mengelilingi rumah, dengan nada gembira dan
kagum dia berkata, "Rumah Bapak sungguh indah sekali, asri, dan nyaman."
tanpa diminta, dia menceritakan apa saja yang telah dilihatnya. Si
Bapak mendengar sambil tersenyum puas sambil mata tuanya melirik susu di
dalam mangkok yang hampir habis.
Menyadari lirikan si bapak ke arah mangkoknya, si pemuda berkata, "Maaf Pak, keasyikan menikmati indahnya rumah Bapak, susunya tumpah semua".
Menyadari lirikan si bapak ke arah mangkoknya, si pemuda berkata, "Maaf Pak, keasyikan menikmati indahnya rumah Bapak, susunya tumpah semua".
"Hahaha! Anak muda. Apa yang kita pelajari hari ini? Jika susu di
mangkok itu utuh, maka rumahku yang indah tidak tampak olehmu. Jika
rumahku terlihat indah di matamu, maka susunya tumpah semua. Sama
seperti itulah kehidupan, harus seimbang. Seimbang menjaga agar susu
tidak tumpah sekaligus rumah ini juga indah di matamu. Seimbang membagi
waktu untuk pekerjaan dan keluarga. Semua kembali ke kita, bagaimana
membagi dan memanfaatkannya. Jika kita mampu menyeimbangkan dengan
bijak, maka pasti kehidupan kita akan harmonis".
Seketika itu si pemuda tersenyum gembira, "Terima kasih, Pak. Tidak
diduga saya telah menemukan jawaban kegelisahan saya selama ini.
Sekarang saya tahu, kenapa orang-orang menjuluki Bapak sebagai orang
yang bijak dan baik hati".
Semangkuk Bakso
Dikisahkan, biasanya di hari ulang tahun Putri, ibu pasti sibuk di dapur memasak dan menghidangkan makanan kesukaannya. Tepat saat yang ditunggu, betapa kecewa hati si Putri, meja makan kosong, tidak tampak sedikit pun bayangan makanan kesukaannya tersedia di sana. Putri kesal, marah, dan jengkel.
"Huh, ibu sudah
tidak sayang lagi padaku. Sudah tidak ingat hari ulang tahun anaknya
sendiri, sungguh keterlaluan," gerutunya dalam hati. "Ini semua pasti
gara-gara adinda sakit semalam sehingga ibu lupa pada ulang tahun dan
makanan kesukaanku. Dasar anak manja!"
Ditunggu sampai siang, tampaknya orang serumah tidak peduli lagi
kepadanya. Tidak ada yang memberi selamat, ciuman, atau mungkin memberi
kado untuknya.
Dengan
perasaan marah dan sedih, Putri pergi meninggalkan rumah begitu saja.
Perut kosong dan pikiran yang dipenuhi kejengkelan membuatnya berjalan
sembarangan. Saat melewati sebuah gerobak penjual bakso dan mencium
aroma nikmat, tiba-tiba Putri sadar, betapa lapar perutnya! Dia menatap
nanar kepulan asap di atas semangkuk bakso.
"Mau beli bakso, neng? Duduk saja di dalam," sapa si tukang bakso.
"Mau, bang. Tapi saya tidak punya uang," jawabnya tersipu malu.
"Bagaimana kalau hari ini abang traktir kamu? Duduklah, abang siapin mi bakso yang super enak."
Putri pun segera duduk di dalam.
Tiba-tiba, dia tidak kuasa menahan air matanya, "Lho, kenapa menangis, neng?" tanya si abang.
"Saya jadi ingat ibu saya, nang. Sebenarnya... hari ini ulang tahun
saya. Malah abang, yang tidak saya kenal, yang memberi saya makan. Ibuku
sendiri tidak ingat hari ulang tahunku apalagi memberi makanan
kesukaanku. Saya sedih dan kecewa, bang."
"Neng cantik, abang yang baru sekali aja memberi makanan bisa bikin
neng terharu sampai nangis. Lha, padahal ibu dan bapak neng, yang ngasih
makan tiap hari, dari neng bayi sampai segede ini, apa neng pernah
terharu begini? Jangan ngeremehin orangtua sendiri neng, ntar nyesel
lho."
Putri seketika tersadar, "Kenapa aku tidak pernah berpikir seperti itu?"
Setelah menghabiskan makanan dan berucap banyak terima kasih, Putri
bergegas pergi. Setiba di rumah, ibunya menyambut dengan pelukan hangat,
wajah cemas sekaligus lega,
"Putri, dari mana kamu seharian ini, ibu tidak tahu harus mencari kamu
ke mana. Putri, selamat ulang tahun ya. Ibu telah membuat semua makanan
kesukaan Putri. Putri pasti lapar kan? Ayo nikmati semua itu."
"Ibu,
maafkan Putri, Bu," Putri pun menangis dan menyesal di pelukan ibunya.
Dan yang membuat Putri semakin menyesal, ternyata di dalam rumah hadir
pula sahabat-sahabat baik dan paman serta bibinya. Ternyata ibu Putri
membuatkan pesta kejutan untuk putri kesayangannya.
Nilai Kehidupan
Alkisah, ada seorang pemuda yang hidup sebatang kara. Pendidikan rendah, hidup dari bekerja sebagai buruh tani milik tuan tanah yang kaya raya. Walapun hidupnya sederhana tetapi sesungguhnya dia bisa melewati kesehariannya dengan baik.Pada suatu ketika, si pemuda merasa jenuh dengan kehidupannya. Dia tidak mengerti, untuk apa sebenarnya hidup di dunia ini. Setiap hari bekerja di ladang orang demi sesuap nasi. Hanya sekadar melewati hari untuk menunggu kapan akan mati. Pemuda itu merasa hampa, putus asa, dan tidak memiliki arti.
"Daripada tidak tahu hidup untuk apa dan hanya menunggu mati, lebih baik aku mengakhiri saja kehidupan ini," katanya dalam hati. Disiapkannya seutas tali dan dia berniat menggantung diri di sebatang pohon.
Pohon yang dituju, saat melihat gelagat seperti itu, tiba-tiba menyela lembut. "Anak muda yang tampan dan baik hati, tolong jangan menggantung diri di dahanku yang telah berumur ini. Sayang, bila dia patah. Padahal setiap pagi ada banyak burung yang hinggap di situ, bernyanyi riang untuk menghibur siapapun yang berada di sekitar sini."
Dengan bersungut-sungut, si pemuda pergi melanjutkan memilih pohon yang lain, tidak jauh dari situ. Saat bersiap-siap, kembali terdengar suara lirih si pohon, "Hai anak muda. Kamu lihat di atas sini, ada sarang tawon yang sedang dikerjakan oleh begitu banyak lebah dengan tekun dan rajin. Jika kamu mau bunuh diri, silakan pindah ke tempat lain. Kasihanilah lebah dan manusia yang telah bekerja keras tetapi tidak dapat menikmati hasilnya."
Sekali lagi, tanpa menjawab sepatah kata pun, si pemuda berjalan mencari pohon yang lain. Kata yang didengarpun tidak jauh berbeda, "Anak muda, karena rindangnya daunku, banyak dimanfaatkan oleh manusia dan hewan untuk sekadar beristirahat atau berteduh di bawah dedaunanku. Tolong jangan mati di sini."
Setelah pohon yang ketiga kalinya, si pemuda termenung dan berpikir, "Bahkan sebatang pohonpun begitu menghargai kehidupan ini. Mereka menyayangi dirinya sendiri agar tidak patah, tidak terusik, dan tetap rindang untuk bisa melindungi alam dan bermanfaat bagi makhluk lain".
Segera timbul kesadaran baru. "Aku manusia; masih muda, kuat, dan sehat. Tidak pantas aku melenyapkan kehidupanku sendiri. Mulai sekarang, aku harus punya cita-cita dan akan bekerja dengan baik untuk bisa pula bermanfaat bagi makhluk lain".
Si pemuda pun pulang ke rumahnya dengan penuh semangat dan perasaan lega
Pesan Ibu
Suatu hari, tampak seorang pemuda tergesa-gesa memasuki sebuah restoran karena kelaparan sejak pagi belum sarapan. Setelah memesan makanan, seorang anak penjaja kue menghampirinya, "Om, beli kue Om, masih hangat dan enak rasanya!""Tidak Dik, saya mau makan nasi saja," kata si pemuda menolak.
Sambil tersenyum si anak pun berlalu dan menunggu di luar restoran.
Melihat si pemuda telah selesai menyantap makanannya, si anak menghampiri lagi dan menyodorkan kuenya. Si pemuda sambil beranjak ke kasir hendak membayar makanan berkata, "Tidak Dik, saya sudah kenyang."
Sambil terus mengikuti si pemuda, si anak berkata, "Kuenya bisa dibuat oleh-oleh pulang, Om."
Dompet yang belum sempat dimasukkan ke kantong pun dibukanya kembali. Dikeluarkannya dua lembar ribuan dan ia mengangsurkan ke anak penjual kue. "Saya tidak mau kuenya. Uang ini anggap saja sedekah dari saya."
Dengan senang hati diterimanya uang itu. Lalu, dia bergegas ke luar restoran, dan memberikan uang pemberian tadi kepada pengemis yang berada di depan restoran.
Si pemuda memperhatikan dengan seksama. Dia merasa heran dan sedikit tersinggung. Ia langsung menegur, "Hai adik kecil, kenapa uangnya kamu berikan kepada orang lain? Kamu berjualan kan untuk mendapatkan uang. Kenapa setelah uang ada di tanganmu, malah kamu berikan ke si pengemis itu?"
"Om, saya mohon maaf. Jangan marah ya. Ibu saya mengajarkan kepada saya untuk mendapatkan uang dari usaha berjualan atas jerih payah sendiri, bukan dari mengemis. Kue-kue ini dibuat oleh ibu saya sendiri dan ibu pasti kecewa, marah, dan sedih, jika saya menerima uang dari Om bukan hasil dari menjual kue. Tadi Om bilang, uang sedekah, maka uangnya saya berikan kepada pengemis itu."
Si pemuda merasa takjub dan menganggukkan kepala tanda mengerti. "Baiklah, berapa banyak kue yang kamu bawa? Saya borong semua untuk oleh-oleh." Si anak pun segera menghitung dengan gembira.
Sambil menyerahkan uang si pemuda berkata, "Terima kasih Dik, atas pelajaran hari ini. Sampaikan salam saya kepada ibumu."
Walaupun tidak mengerti tentang pelajaran apa yang dikatakan si pemuda, dengan gembira diterimanya uang itu sambil berucap, "Terima kasih, Om. Ibu saya pasti akan gembira sekali, hasil kerja kerasnya dihargai dan itu sangat berarti bagi kehidupan kami."
Kebiasaan yang Diulang
Di Tiongkok pada zaman dahulu
kala, hidup seorang panglima perang yang terkenal karena memiliki
keahlian memanah yang tiada tandingannya. Suatu hari, sang panglima
ingin memperlihatkan keahliannya memanah kepada rakyat. Lalu
diperintahkan kepada prajurit bawahannya agar menyiapkan papan sasaran
serta 100 buah anak panah.
Setelah
semuanya siap, kemudian Sang Panglima memasuki lapangan dengan penuh
percaya diri, lengkap dengan perangkat memanah di tangannya.
Panglima
mulai menarik busur dan melepas satu persatu anak panah itu ke arah
sasaran. Rakyat bersorak sorai menyaksikan kehebatan anak panah yang
melesat! Sungguh luar biasa! Seratus kali anak panah dilepas, 100 anak
panah tepat mengenai sasaran.
Dengan wajah berseri-seri penuh kebanggaan, panglima berucap,
"Rakyatku, lihatlah panglimamu! Saat ini, keahlian memanahku tidak ada
tandingannya. Bagaimana pendapat kalian?"
Di
antara kata-kata pujian yang diucapkan oleh banyak orang, tiba-tiba
seorang tua penjual minyak menyelutuk, "Panglima memang hebat ! Tetapi,
itu hanya keahlian yang didapat dari kebiasaan yang terlatih."
Sontak
panglima dan seluruh yang hadir memandang dengan tercengang dan
bertanya-tanya, apa maksud perkataan orang tua penjual minyak itu.
Tukang minyak menjawab, "Tunggu sebentar!" Sambil beranjak dari
tempatnya, dia mengambil sebuah uang koin Tiongkok kuno yang berlubang
di tengahnya. Koin itu diletakkan di atas mulut botol guci minyak yang
kosong. Dengan penuh keyakinan, si penjual minyak mengambil gayung penuh
berisi minyak, dan kemudian menuangkan dari atas melalui lubang kecil
di tengah koin tadi sampai botol guci terisi penuh. Hebatnya, tidak ada
setetes pun minyak yang mengenai permukaan koin tersebut!
Panglima dan rakyat tercengang. Merela bersorak sorai menyaksikan
demonstrasi keahlian si penjual minyak. Dengan penuh kerendahan hati,
tukang minyak membungkukkan badan menghormat di hadapan panglima sambil
mengucapkan kalimat bijaknya, "Itu hanya keahlian yang didapat dari
kebiasaan yang terlatih! Kebiasaan yang diulang terus menerus akan
melahirkan keahlian."
Filosofi Memanah
Alkisah, di suatu senja yang
kelabu, tampak sang raja beserta rombongannya dalam perjalanan pulang ke
kerajaan dari berburu di hutan. Hari itu adalah hari tersial yang
sangat menjengkelkan hati karena tidak ada satu buruan pun yang berhasil
dibawa pulang. Seolah-olah anak panah dan busur tidak bisa dikendalikan
dengan baik seperti biasanya.
Setibanya di pinggir hutan, raja memutuskan beristirahat sejenak di
rumah sederhana milik seorang pemburu yang terkenal karena kehebatannya
memanah. Dengan tergopoh-gopoh, si pemburu menyambut kedatangan raja
beserta rombongannya.
Setelah berbasa-basi, tiba-tiba si pemburu berkata, "Maaf baginda,
sepertinya baginda sedang jengkel dan tidak bahagia. Apakah hasil buruan
hari ini tidak memuaskan baginda?"
Bukannya menjawab pertanyaan, sang raja malah beranjak menghampiri
sebuah busur tanpa tali yang tergeletak di sudut ruangan. "Pemburu,
kenapa busurmu tidak terpasang talinya? Apakah engkau sudah tidak akan
memanah lagi?" tanya sang raja dengan nada heran dan terkejut.
"Bukan begitu baginda, tali busur memang sengaja hamba lepas agar busur
itu bisa ‘istirahat'. Jadi, ketika talinya hamba pasang kembali, busur
itu tetap lentur untuk melontarkan anak panahnya. Karena berdasarkan
pengalaman hamba, tali busur yang tegang terus menerus, tidak akan bisa
dipakai untuk memanah secara optimal".
"Wah, hebat sekali pengetahuanmu! Ternyata itu rahasia kehebatan memanahmu selama ini ya," kata baginda.
"Memang, kami turun temurun adalah pemburu. Dan pelajaran seperti ini
sudah ada sejak dari dulu. Untuk memaksimalkan alat berburu, kebiasaan
seperti itulah yang harus hamba lakukan. Mohon maaf baginda, masih ada
pelajaran lainnya yang tidak kalah penting yang biasa kami lakukan."
"Apa itu?" tanya baginda penasaran.
"Menjaga pikiran. Karena sehebat apapun busur dan anak panahnya, bila
pikiran kita tidak fokus, perasaan kita tidak seirama dengan tangan,
anak panah dan busur, maka hasilnya juga tidak akan maksimal untuk bisa
mencapai sasaran buruan yang kita inginkan".
Mendengar penjelasan si pemburu, tampak sang raja terkesima untuk
beberapa saat. Tiba-tiba tawa sang raja memenuhi ruangan. "Terima kasih
sobat. Terima kasih. Hari ini rajamu mendapat pelajaran yang sangat
berharga dari seorang pemburu yang hebat."
Setelah cukup beristirahat, raja pun berpamitan pulang dengan perasaan
gembira. Dan timbul keyakinan, lain kali pasti akan berhasil lebih baik.

No comments :
Post a Comment